CATATAN IMANKU

Hidup Dalam Dentuman Jihad, Mati Dalam Kemuliaan Syahid

KESALAHAN ISTIDLAL Dengan “KUFRUN DUUNA KUFRIN

بسم الله الرحمن الرحيم

(KESALAHAN ISTIDLAL Dengan “KUFRUN DUUNA KUFRIN”)

KUFRUN DUUNA KUFRIN (كفر دون كفر) “kekufuran di bawah kekufuran”.

Sungguh diantara hikmah Allah adalah dijadikannya bagi setiap kebenaran ada pembelanya begitupula bagi setiap kebathilan ada penghiasnya, sebagai ujian untuk pembela Tauhid sekaligus sebagai penampakkan akan cahaya kebenaran agar terlihat lebih terang.

Ketika para penyeru Tauhid mengingatkan bahaya kufurnya HUKUM BUATAN MANUSIA, maka berdirilah pasukan SETAN yang membela para THOGUT yang mengganti syariat Allah dengan HUKUM THOGUT, tidak sampai disitu bahkan mereka mewajibkan taat kepada para THOGUT disaat Allah memerintahkan untuk memerangi mereka, bahkan tidak segan memvonis bid’ah sebagian sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam seperti Husain cucu Nabi, Abdullah bin Zubair dan yang lainnya yang mengangkat pedang melawan pemimpin zholim (walaupun tidak kafir, bahkan pemimpin saat itu dasar hukumnya adalah hukum Allah).

Diantara syubhat yang dijadikan senjata utama dalam membela para Thogut hukum adalah perkataan yang dinisbatkan kepada IBNU ABBAS Radiallahu ‘anhu yg disebutkan oleh IBNU JARIR dan IBNU KATSIR dalam tafsir keduanya;

“ليس بالكفر الذي تذهبون إليه، كفر دون كفر”
“bukan KEKUFURAN yang kalian maksudkan, (namun) KEKUFURAN DI BAWAH KEKUFURAN”.

Perkataan ini mereka jadikan seperti perkataan RABBBUL ‘ALAMIN atau sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, mereka membangun wala’ wal baro’ di atasnya, membid’ahkan semua yang menentang mereka walaupun didatangkan puluhan dalil.

Tulisan kali ini bukan membahas dalil dalil tentang KAFIRnya pembuat hukum atau orang yang berhukum dengan selain hukum Allah, karena dalil dalil tersebut sangat jelas bagaikan matahari di padang pasir saat siang bolong, kafirnya mereka telah tetap baik dari A lqur’an as sunnah bahkan IJMA’, dan salah jika dikatakan kafirnya THOGUT hukum saat ini HANYA dengan ayat:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Dan barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (QS al-Maidah: 44).

Karena ayat ini multi tafsir (hammalatul wujuh), namun bodohnya para pembela thogut adalah mereka berusaha menghashr (membatasi) dalil AHLUS SUNAH dengan ayat ini saja kemudian ditafsirkan dengan perkataan Ibnu Abbas dengan anggapapan bahwa yang dimaksud dalam perkataan tersebut adalah semodel THOGUT zaman ini. Allahul musta’an. Namun, tulisan ini hanya membahas tentang kesalahan istidlal dengan atsar yang nisbatkan kepada Abdullah Ibnu Abbas.

Kita semua tahu bahwa para ulama terdahulu memang berhujjah dengan atsar ini, namun tentunya dengan ISTIDLAL yang tepat dan benar, berbeda dengan Jahmiyah saat ini yang menggunakan atsar tersebut sebagai senjata untuk melanggengkan THOGUT hukum di atas singgasananya.
KUNCI untuk membongkar syubhat ini adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

1. Kapan Ibnu Abbas mengatakan perkataan ini?
2. Kenapa Ibnu abbas berkata seperti itu dan kepada siapa?
3. Apakah perkataan sahabat merupakan Hujjah yang wajib diikuti oleh seluruh ummat?
4. Apakah perkataan sahabat dapat mengkhususkan keumuman Al qur’an?

JAWABAN:
1. Ibnu Abbas meninggal dunia tahun 68 hijriah.
Secara otomatis perkataan tersebut muncul antara tahun 68 hijriah atau sebelumnya.
Lalu apa hubungannya antara tahun meninggalnya Ibnu Abbas dengan Istidlal “kufrun duuna kufrin” untuk mengkafrkan orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah??
Perlu diketahui bahwasnnya mengganti hukum Allah dengan QOWANIN WAD’IYYAH (UU buatan manusia) atau penerapan UU buatan manusia pertamakali muncul pada abad ke-7 hijriah, yaitu ketika Tartar mengganti hukum Allah dengan YASIQ (Hukum buatan mereka), maka sangat jauh setelah wafatnya Abdullah ibnu abbas.
Abdullah ibnu Abbas tidak pernah mengenal adanya suatu negeri muslim yang dipimpin dengan UU buatan manusia, otomatis Abdullah ibnu Abbas tidak memaksudkan dengan perkataannya tersebut orang-orang yang mengganti hukum Allah dengan hukum buatan makhluk
¹

Kalau dikatakan bahwasanya ada pemimpin yang menggantikan hukum Allah dengan hukum buatan manusia di zaman beliau, lalu siapakah orang yang dimaksud pemimpin tersebut???

Apakah Abu Bakr, Umar, atau Abdul Malik bin Marwan??? Merekalah para pemimpin yang Abdullah Ibnu Abbas hidup di bawah kepemimpinannya.

Ataupun anggap saja artinya adalah KUFUR ASGHAR, siapa diantara mereka yang melakukan kufur asghar tersebut???.
Oleh karenanya, TIDAK SAH membawa perkataan Abdullah ibnu Abbas kepada pemimpin yang mengganti Hukum Allah atau menerapakan hukum buatan manusia sebagai pengganti Hukum Allah.
(Bersambung)

2. Untuk menghilangkan kerancuan, maka perlu diketahui bahwasanya Ibnu Abbas mengatakan perkataan tersebut (jika memang dianggap shahih) kepada KHOWARIJ yang mengkafirkan pelaku dosa besar. Padahal pelaku dosa besar (bukan NAWAQIDH) adalah tidak kafir sampai dia menghalalkannya.

Berkata Abu Hayyan al Andalusy dalam tafsirnya “Al-Bahrul Muhiith”:

واحتجت الخوارج بهذه الآية على أنّ كل من عصى الله تعالى فهو كافر ، وقالوا : هي نص في كل من حكم بغير ما أنزل الله فهو كافر ، وكل من أذنب فقد حكم بغير ما أنزل الله فوجب أن يكون كافراً.

“KHOWARIJ berhujjah dengan ayat ini (al Mai’dah: 44) bahwasanya setiap orang yang bermaksiat kepada Allah adalah KAFIR, mereka (Khowarij) berkata: Dia (ayat al Ma’idah ayat: 44) adalah nash pada SETIAP yang berhukum dengan selain apa yang diturunkan oleh Allah adalah kafir, (yaitu) SETIAP yang berbuat dosa adalah termasuk orang yang terhukum dengan selain apa yang diturunkan oleh Allah, maka ia pasti telah menjadi kafir”.

Jadi bisa difahami bawasanya Ibnu Abbas mengucapkan “kufrun duuna kufrin” untuk membantah istidlal khowarij dengan ayat al Ma’idah tersebut yang mengkafirkan seluruh pelaku maksiat (bukan NAWAQIDH), adapun jika berdalil dengan ayat ini untuk mengkafirkan orang yang mengganti syari’at Allah dengan hukum buatan manusia maka merupakan istidlal yang tepat, bahkan kekafiran orang ini merupakan IJMA’ atau kesepakatan seluruh ulama.

Dan ini dikuatkan oleh nukilan dari beberapa murid Ibnu Abbas seperti Sa’id bin Jubair, Thowus, Mujahid dan Atha’ bin Abi Rabah yang mengkafirkan Hajjaj, yang menunjukkan bahwa perkataan guru mereka “kufrun duuna kufrin” tidaklah mutlak dalam setiap bentuk permasalahan hukum.

Para ulama seperti Syaikhul Islam, Ibnu Katsir dan yang lainnya telah mengkafirkan “Tartar” lantaran berhukum dengan kitab buatan mereka yang disebut “Yasiq”.
Oleh karenanya tidak ditemukan dari mereka yang berhujjah dengan “kufrun duuna kufrin” terhadap “Yasiq”.
Dan jika mau dibandingkan sungguh keadaan pemimpin pemimpin negeri yang sekarang keadaannya seperti Tartar tempo doeloe;

Tartar mengucapkan syahadat laa ilaha illallah pemimpin zaman ini juga mengucapkan laa ilaha illallah, Tartar berhukum dengan hukum selain hukum Allah, pemimpin zaman ini juga berhukum dengan selain hukum Allah, Tartar dihukumi kafir oleh para ulama bahkan diperangi begitupun pemimpin zaman ini ia adalah KAFIR meskipun dibela mati matian oleh orang orang yang membela.

3&4. SEANDAINYA perkataan Ibnu Abbas itu memang shahih dan yang dimaksud oleh Ibnu Abbas adalah orang orang yang mengganti hukum Allah dengan hukum buatan makhluk, apakah perkataan beliau wajib diikuti oleh seluruh ummat???, Apakahj perkataan beliau bisa mengkhususkan keumuman Al Qur’an???.
Tidak ada SEORANGPUN dari ulama yang berkata seperti itu kecuali para penjilat yang berada di pintu pintu penguasa.
Para ulama ushul berbeda pendapat apakah as sunnah bisa mengkhususkan dilalah Al Qur’an atau tidak, atau apakah khobar Ahad bisa mengkhususkan kemuman mutawatir atau tidak. Lalu bagaimana dengan yang di bawahnya seperti perkatan sahabat dan dinukil dengan jalan Ahad bisa dianggap IJMA’ dan dijadikan orang yang menentangnya sebagi KHOWARIJ padahal perkataan tersebut menyelisihi keumuman Al qur’an??? –subhaanaka haadza buhtanun aziim-
Oleh karenanya ulama telah IJMA’ (bersepakat seluruhnya) bahwasanya seluruh perkataan selain dari Rasullullah tidak bisa dijadikan pengkhusus dari keumuman al qur’an.
Imam as Syaukani berkata:
²

واجتهاد الصحابي لا يخصص ما ثبت عن رسول الله صلى الله عليه و سلم بإجماع المسلمين (السيل الجرار المتدفق على حدائق الأزهار)

“Ijtihad seorang sahabat tidak bisa mengkhususkan apa saja yang telah tetap dari Rasulullah berdasarkan IJMA’ kaum muslimim”. Ini terhadap sunnah maka lebih lebih terhadap Al Qur’an…!!!

Adapun perkataan sahabat tidak bisa mengkhususkan dilalah Al Qur’an kecuali dengan memenuhi 3 syarat:

– Jika mempunyai hukum marfu’ (perkataan tersebut bisa disandarkan kepada Rasulullah).
Sepakat ulama bahwasanya perkataan Ibnu Abbas ini bukanlah berhukum marfu’ atau datang tidak dengan shigoh yang menunjukkan hukum marfu’ seperti: “Kami diperintahkan….. Atau kami dilarang….. Atau diantara sunnah…. Dll”, atau tidak menunjukkan perkara gho’ib.
– Tidak menyelisihi keumuman Al Qur’an.
Penyelisihan perkataan “kufrun duuna kufrin” terhadap ZHOHIR ayat al ma’idah begitu jelas sehingga tidak butuh penjelasan yang panjang, pada ayat Al ma’idah zhohirnya mengkafirkan orang yang meninggalkan berhukum dengan Hukum Allah adapun perkataan Ibnu Abbas mempersempit maknanya (itupun jika dianggap yang dimaksud oleh Ibnu Abbas adalah sesuai anggapan penjilat penguasa saat ini, namun telah kita sebutkan bahwasanya yang dimaksud Ibnu Abbas adalah bantahan untuk khowarij yang mengkafirkan setiap yang berbuat maksiat).
– Tidak ada penyelisihan dari sahabat yang lain.
Beberapa sahabat yang menyelisihi tafsiran Ibnu Abbas (jika dianggap yang dimaksud Ibnu Abbas adalah semodel THOGUT HUKUM zaman ini):

ABDULLAH BIN MAS’UD:
وعن ابن مسعود رضي الله عنه: “الرشوة في الحكم كفر وهو بين الناس سحت”. (رواه الطبراني في الكبير ورجاله رجال الصحيح).

Abdullah bin Mas’ud berkata : “Suap menyuap dalam masalah hukum adalah kufur sedangkan di kalangan orang biasa adalah dosa yang sangat keji”. (HR Thabarani dengan periwayat yang terpercaya/tsiqah).

عن علقمة ومسروق: أنهما سألا ابن مسعود عن الرشوة، فقال: من السحت. قال فقالا أفي الحكم ؟ قال: ذاك الكُفْر! ثم تلا هذه الآية: ”ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون”.
تفسير الطبري – (ج 10 / ص 319

Imam Ibnu Jarir Ath Thobari telah meriwayatkan dalam Tafsirnya (10/319) : Dari Alqamah dan Masruq bahwa keduanya bertanya kepada Ibnu Mas’ud tentang uang suap, maka beliau menjawab: ” Harta haram.” Keduanya bertanya,” Bagaimana jika oleh penguasa?” Beliau menjawab,” Itu sebuah kekafiran.” Kemudian beliau membaca ayat ini:

”Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir”.

UMAR BIN AL KHOTHTHOB:
Dalam Tafsiir Ruuhul Ma’aaniy karya Imam Al Aalusy 3/140.

أن مسروقا قَالَ : قلت لعمر : يا أمير المؤمنين أرأيت الرشوة في الحكم من السحت ؟ قَالَ : ” لا , ولكن كفر , إنما السحت أن يكون لرجل عند سلطان جاه ومنزلة ويكون للآخر إلى السلطان حاجة , فلا يقضي حاجته حتى يهدي إليه

Bahwasanya Masruq berkata: Aku bertanya kepada ‘Umar: “Wahai Amiirul Mu`miniin, apa pandanganmu tentang risywah dalam memutuskan hukum, apakah ia termasuk harta haroom (as-suht)?”. Ia berkata: “Tidak, akan tetapi itu adalah kekafiran. Sesungguhnya harta haroom itu adalah seseorang memiliki kedudukan di sisi penguasa, dan seseorang lagi memiliki kebutuhan terhadap penguasa tersebut, kemudian orang tersebut tak memenuhi kebutuhannya sehingga dia memberi hadiah”.
Wallahu A’lam.

ملتقى طالب العلم

@abuumarsukabumi
#AttauheedChannel
▬▬▬▬▬▬▬▬▬

Tinggalkan komentar

Information

This entry was posted on 21 Maret 2018 by in Aqidah, Dienul Islam.